3 Masalah yang sering muncul dalam pembelajaran berbasis proyek -- dan solusinya

Ide-ide solusi untuk mengatasi masalah yang kerap muncul dalam pembelajaran berbasis proyek.

Penulis John McCarty (Edutopia). Diterjemahkan dan disunting oleh Nurul Bahirah

3/21/20234 min read

Idealnya dalam pembelajaran berbasis proyek (PjBL), murid dengan aktif mengambil keputusan, bertanggung jawab terhadap perannya di kelompok, dan bersemangat untuk menghasilkan produk terbaik. Banyak sekolah yang menerapkan pendekatan ini berhasil mendapatkan kesuksesan tersebut, namun bagi beberapa sekolah lainnya, masih kesulitan.

Meskipun begitu, walaupun usaha mengatasi masalah dalam project-based learning itu tidak mudah, namun bukan tidak mungkin untuk dilakukan. Berikut adalah tiga contoh masalah yang sering muncul dalam pembelajaran berbasis proyek dan  solusinya.

#1 Kurangnya komitmen siswa terhadap proyek mereka

Kurangnya komitmen murid untuk melakukan proyek bisa muncul apabila project-based learning masih berbentuk seperti pembelajaran tradisional. Walaupun, membuat produk yang dipresentasikan di kelas ataupun dipajang di sekolah adalah awal mula yang baik, pembelajaran berbasis proyek bisa lebih bermakna lagi bagi murid, apabila produk yang mereka hasilkan digunakan oleh orang, kelompok, ataupun organisasi yang memang menggunakan dan menghargai karya mereka.

Solusi: Perkenalkan kelompok yang terkait dengan permasalahan yang diangkat.

Kenalkan siapa penerima manfaat dari proyek yang mereka buat dan bawa mereka ke kelas. Buat produk akhir siswa memang bermanfaat untuk orang-orang yang nyata.  Sebagai contoh, dalam suatu kelompok project-based learning, siswa-siswa menentukan ingin melakukan kampanye sosial tentang pentingnya kesehatan mental. Agar autentik, guru dapat mengenalkan Komunitas Peduli Skizofrenia. Sebagai komunitas yang memang fokus pada kesehatan mental. Dari situ, murid-murid dapat mengembangkan produk yang bisa membantu komunitas peduli skizofrenia untuk mencapai tujuannya, yaitu menghilangkan stigma tentang skizofrenia kepada publik. Produk akhir seperti film tentang skizofrenia, pertunjukan teater untuk publik tentang kehidupan orang dengan skizofrenia, ataupun kampanye sosial untuk menghapus stigma.

Dengan melibatkan real audience, siswa mengetahui seberapa pentingnya produk yang mereka lakukan. Bahwa produk ini akan berdampak positif bagi orang-orang yang nyata.

autentik audiens untuk pembelajaran berbasis proyek
autentik audiens untuk pembelajaran berbasis proyek
permasalahan autentik di pembelajaran berbasis proyek
permasalahan autentik di pembelajaran berbasis proyek
kurangnya komitmen belajar siswa
kurangnya komitmen belajar siswa

#2 Masalah dalam dinamika kelompok 

Pembelajaran berbasis proyek dapat memberikan struktur yang baik bagi siswa untuk melatih kolaborasi dalam kelompok. Apabila berjalan dengan baik, kolaborasi di dalam kelompok dapat bermanfaat. Seperti untuk saling memahami konten materi yang sulit ataupun menyelesaikan tugas-tugas yang kompleks.

Seringkali, masalah muncul apabila hanya beberapa siswa yang mengerjakan proyek. Pada suatu kondisi, bisa saja kolaborasi tidak berjalan dengan baik karena beberapa siswa menolak atau ogah-olahan dalam menjalakan tugasnya. Di lain kesempatan, hal ini bisa juga terjadi karena beberapa siswa menolak anggota lain untuk bekerja sama karena dianggap kualitas kerjanya kurang bagus.

murid bertengkar saat PjBL
murid bertengkar saat PjBL

Dengan tidak memberikan nilai bagi kelompok, akan membuat siswa dapat fokus dengan proyeknya tanpa mengkhwatirkan bagaimana kinerja anggota lain mempengaruhi penilaian individu mereka. Hal ini juga memberikan semangat bagi anggota lain untuk memberikan yang terbaik dalam kerja mereka. Kerja tim seperti mengumpulkan data, menyelesaikan tahapan proyek yang kompleks, ataupun saling berbagi pemahaman tetap bisa dilakukan dalam kelompok. Lalu, hasil dari kolaborasi bersama inilah yang dijadikan materi untuk menyelesaikan tugas individual. Pada akhirnya, sangat penting bagi siswa untuk menunjukan mengenai apa yang dia pelajari dari proyek ini dan apa yang belum ia tau. 

Solusi: Apabila untuk pemberian nilai, berikan tugas individu. Jangan berikan nilai bagi tugas kelompok.

Sebagai contoh, dalam suatu SMA di Jakarta, pembelajaran berbasis proyek yang dilakukan adalah tentang Carbon footprint (jejak karbon). Fasilitator dari pembelajaran memberikan pertanyaan pengarah, “Apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi jejak karbon kita (carbon footprint)?” Fasilitatorpun memberikan pilihan akhir produk yang bisa dibuat adalah film. Dalam pembuatan film,  anggota tim membuat bersama filmnya dan saling berbagi pengetahuan tentang carbon footprint. Namun, penilaian individu bukan berdasarkan film yang dihasilkan. Melainkan, fasilitator tersebut,  diakhir setelah proyek itu selesai, meminta setiap siswa membuat esai mengenai hal apa yang mereka pelajari selama proyek, seperti mengapa mengurangi carbon footprint menjadi penting, meminta mereka menceritakan hal apa yang mereka lakukan untuk mengurangi karbon footprint dan alasan dibalik pilihan mereka. Serta, meminta mereka untuk menceritakan tantangan yang dialami selama PjBL. Dengan cara ini, guru dapat mengetahui level kedalaman pemahaman siswa, yang mungkin saja berbeda-beda dan dapat memberikan nilai sesuai dengan konteks tiap individu.

#3 Siswa tidak terbiasa untuk proaktif dalam pembelajaran

Banyak siswa sudah terbiasa menjadi pembelajar pasif di kelas,  pengalaman mereka selama di lingkungan pendidikan yang menjadikan mereka menjadi passive learner. Namun, dalam project-based learning, keaktifan peserta dalam merancang proyek akan menjadi kunci penting. Oleh itu, bagi guru yang ingin mendesain pembelajaran berbasis proyek yang powerful, langkah awal dimulai dari membimbing siswa untuk belajar menjadi ‘pemilik’ dari proyek mereka. 


Solusi: Libatkan siswa dalam memilih jenis produk akhir yang ingin dilakukan.

Pada umumnya, disaat kita bisa memilih apa yang ingin kita pelajari dan bagamana cara kita belajar, kita akan lebih ‘memiliki’ pembelajaran tersebut. Seperti anak kecil yang belajar komputer karena penasaranya, mereka akan semangat dan proaktif untuk belajar tanpa instruksi dari luar. Begitu juga dalam pembelajaran berbasis proyek – memberikan murid kesempatan untuk memilih menjadi langkah awal (bukan solusi akhir) untuk keaktifan murid di PjBL. Di banyak kasus, pilihan jenis produk akhir ataupun proyek yang dilakukan, banyak di desain oleh para guru. Ketika murid diberikan kesempatan untuk memilih jenis produk akhir yang akan dibuat, mereka akan lebih terlibat ‘invest’  dalam proyek yang mereka lakukan. 

Sebagai contoh, dalam suatu SMA di Jawa Timur, mereka mengambil tema tentang Bullying. “Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah bullying online di remaja?” Guru-guru SMA tersebut memberikan pertanyaan terbuka seperti diatas, agar membuka ruang pilihan produk akhir bagi para siswa. Bagi para siswa yang memang menyukai seni gambar memutuskan untuk bekerja sama untuk membuat pameran lukisan yang mengangkat tema online bullying, bagi siswa-siswa yang tertarik di film mereka membuat film tentang bullying. Karya-karya ini yang pada akhir kegiatan dipamerkan di lingkungan sekolah.


Menerapkan 3 solusi dari permasalahan diatas akan dapat membantu menyelesaikan permasalahan terkait komitmen siswa dalam melakukan pembelajaran berbasis proyek. Sehingga, dapat memberikan pengalaman  belajar yang autentik.