Apakah Hukuman Fisik Efektif?

korban kekerasan anak
korban kekerasan anak

Saya masih ingat hari itu, saat saya masih remaja. Pada malam itu, Ayah mengingatkan saya untuk shalat. Tapi alih-alih shalat, saya malah lanjut membaca buku di kamar. Kemudian, Ayah membuka pintu kamar saya , dan dengan langkah berat, dia mendekati saya dan menampar keras saya di wajah. Masih terbayang hingga sekarang, rasa sakit yang saya rasakan. Karena tidak seperti Ibu saya yang sering menghukum saya secara fisik sejak kecil, Ayah saya tidak pernah memukul saya. Dan saya ingat hari itu, berpikir "Tidak ada yang mencintai saya dalam keluarga ini."

Sekarang, bertahun-tahun berlalu dan saya telah menjadi seorang Ibu. Ada saat-saat ketika saya bingung, tentang apa yang harus saya lakukan terhadap anak saya. Terutama saat-saat ketika saya tidak didengarkan. Suami saya menyarankan agar kami mencubit anak saya agar dia kapok.

Tapi bagi saya, itu mengingatkan pada saat Ayah memukul saya. Apakah dipukul membuat saya melakukan apa yang orang tua saya inginkan? Tidak. Satu-satunya yang dihasilkan adalah kenangan negatif dan kesedihan.

Mengetahui hal itu, apakah saya masih ingin menghukum anak saya secara fisik? Atau sebaliknya? Apakah suami saya mungkin benar bahwa dicubit itu akan membuat anak saya kapok? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya membaca banyak riset dari seluruh dunia untuk memahami efektifitas dari hukuman fisik. Pada kesempatan ini saya ingin berbagi dari apa yang sudah saya temukan. Semoga Bermanfaat!

Apakah hukuman fisik efektif?

Saya akan memulainya dengan argumen yang mengarah memperbolehkan hukuman fisik.

Di Indonesia dan juga di berbagai bagian dunia, penggunaan hukuman fisik banyak digunakan sebagai bagian dari disiplin. Tidak hanya di Asia, bahkan di negara-negara Barat. Dalam konteks Indonesia, khususnya bagi umat Muslim, kita mungkin pernah mendengar kata-kata 'boleh memukul anak kita jika mereka tidak shalat.' Apakah itu benar? Memang itu benar. Namun, ternyata itu hanya sebagian dari potongan hadist.

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Perintahkan anak-anak kalian untuk salat pada saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka karenanya pada saat sudah berusia sepuluh tahun, juga pisahkan ranjang mereka (pada usia sepuluh tersebut)” (Sunan Abu Dawud, 495).

Jadi, dua poin tentang hadist diatas adalah, pertama, memukul apabila tidak shalat yang mana shalat sangat mendasar bagi keyakinan Islam (karena itu dasar antara hubungan manusia dan Tuhan). Bukan anjuran untuk memukul anak dalam semua hal dan kenakalan. Kedua, sebelum memukul, orangtua memulai dengan mengajak dan membiasakan selama tiga tahun (mulai dari usia 7 tahun) selama tiga tahun itu orang tua diminta bersifat lembut, mengajak, dan membiasakan.

Penting juga untuk disebut bahwa dalam hadist lainnya juga dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW juga melarang pemberian hukuman yang berlebihan, seperti memukul di wajah dan menghukum dalam keadaan marah. Namun, seringkali bagian dari hadist ini kurang terlihat dan menjadi bagian pertimbangan bagi orang tua. Perlu diperhatikan bahwa banyak adab-adab yang perlu diketahui jikalau pun akan menghukum anak secara fisik. Belum lagi, pengetahuan dan pemahaman bahwa nabi Muhammad SAW adalah sosok yang penyayang dan lemah lembut, bahkan dalam menegur kesalahan anakpun, memberikan anak kesempatan dan waktu untuk berpikir dulu terhadap kesalahanya.

Pandangan kedua yang cenderung mendukung hukuman fisik berasal dari satu studi oleh Larzelere & Kuhn (2005). Studi meta-analysis ini menyebutkan bahwa hukuman fisik ‘ringan’ lebih efektif dalam mengubah perilaku anak daripada 10 taktik disiplin lainnya (Larzelere & Kuhn, 2005).

Studi tersebut berargumen bahwa ketika hukuman fisik ringan seperti 'dua kali pukulan' digunakan bukan sebagai hukuman awal tapi sebagai hukuman kedua (tindak lanjut dari hukuman pertama yang tidak dilakukan dengan baik). Maka dengan dipukul dua kali, akan membuat anak kapok dan lebih koperatif pada hukuman ringan yang pertama.

Begini contohnya, anggaplah anak A memukul adiknya, meskipun telah diberitau orang tuanya untuk tidak melakukannya. Maka, orang tua tersebut memberikan hukuman pertama berupa time-out. Dimana si anak A dihukum untuk berdiam diri dan berefleksi selama 3 menit di tempat lain. Namun, selama proses time-out, si anak A, tetap berisik dan menangis ingin keluar. Maka, karena tindakanya yang tidak koperatif, anak A, diberi hukuman ringan pukulan dua kali di bagian yang tidak mempermalukan, seperti di pundak atau punggung atau bagian belakang lainnya.

Menurut riset studi tersebut, dengan diberikan pukulan dua-kali, akan membuat anak tersebut lebih koperatif saat diberikan time-out.

Selain itu, hasil meta-studi ini juga memiliki kesimpulan serupa dengan banyak riset lainya yaitu apabila pukulan yang diberikan ‘kasar’ dan ‘menyakiti’ maka justru akan berbahaya bagi anak dan tidak akan menjadi efektif dibanding strategi disiplin yang lain. Oleh karena itu, meskipun riset ini menyebutkan ada tipe hukuman fisik yang mungkin efektif, namun jika tidak diberikan dengan benar dan bahkan menyakiti justru berdampak buruk.

Pendapat kontra diungkapkan oleh banyak studi ilmiah dari berbagai negara. Banyak penelitian, termasuk studi longitudinal dan quasi-eksperimen, berkesimpulan bahwa hukuman fisik tidak efektif dan berbahaya bagi anak-anak. Meskipun begitu, perlu disebutkan bahwa, dalam penelitian-penelitian tersebut, hukuman fisik tidak dibedakan berdasarkan jenisnya, berbeda dengan studi oleh Larzelere & Kuhn (2005) diatas yang membedakan dan membandingkan jenis strategi disiplin. Sehingga, tidak mudah untuk membandingkan hasil efektivitas antara studi yang pro dan studi-studi yang kontra secara persisi.

Argumen pertama, banyak studi mengambil kesimpulan untuk tidak menyarankan hukuman fisik karena temuan bahwa hukuman fisik bisa berbahaya bagi perkembangan anak. Beberapa studi menunjukkan bahwa ada kaitan antara pemberian hukuman fisik dan masalah tingkah laku anak kedepannya, seperti lebih agresif terhadap orang lain (teman sebaya dan saudara kandung) dibandingkan dengan anak-anak yang tidak dihukum fisik (Gershoff, E.T. et al., 2012). Oleh karena itu, berbeda dengan harapan orangtua yang mengharapkan perilaku anak menjadi lebih baik setelah diberikan hukuman. Ternyata, justru sebaliknya hukuman fisik dapat menyebabkan perilaku yang lebih bermasalah pada anak-anak.

Temuan ini sejalan dengan temuan dari ilmu saraf (neuroscience) tentang dampak hukuman fisik pada otak anak-anak. Bukti awal dari penelitian neuroimaging menunjukkan hubungan antara mengalami hukuman fisik pada masa awal kehidupan dan struktur dan fungsi otak yang tidak lazim dibanding otak normal. Ketidaklaziman mungkin mengarah pada perubahan perilaku, emosional, dan kognitif di masa depan (Martin, R.E. and Ochsner, K.N, 2016) Hal ini karena ketika anak-anak dihukum, mereka menjadi memiliki hormon stres yang tinggi, dan ketika anak-anak terus menerus terpapar hormon stres yang tinggi dapat menyebabkan sel-sel mati di otak (Sunderland, M., 2016). Oleh karena itu, dapat menyebabkan masalah dalam pengembangan locus frontal yang berfungsi untuk regulasi emosi dan kemampuan kognitif.

Argumen kedua, beberapa penelitian menunjukkan bahwa hukuman fisik meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak. Sebuah studi dari catatan CPS Kanada menunjukkan bahwa 75% kekerasan fisik terhadap anak terjadi dalam konteks hukuman (Durrant & Ensom, 2012). Data lainya yang menambah risiko dari pemberian hukuman fisik adalah hasil studi di Amerika yang menunjukan bahwa bayi yang dalam tahun pertama kehidupanya telah diberikan hukuman fisik, maka anak-anak tersebut 2,3 kali lebih mungkin telah memiliki rekor perawatan medis di rumah sakit karena 'cedera' dibanding anak-anak yang tidak di hukum fisik.

Data-data ini memungkinkan untuk mengambil kesimpulan bahwa ada risiko tinggi dari pemberian hukuman fisik -- yang mungkin awalnya tujuan baik, namun lama kelamaan bisa menjadi lebih parah. Hal ini mungkin terjadi apabila anak dianggap tidak kian juga ‘belajar’. Sehingga, membuat orang tua memberikan hukuman yang lebih berat agar 'kapok'. Semakin berjalan, orang tua akan lebih sulit membedakan mana hukuman yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.

Pendapat yang kontra terhadap hukuman fisik

Oleh karena itu, melihat data di atas, saya memandang bahwa lebih baik untuk tidak memberikan hukuman fisik kepada anak-anak karena dua alasan.

Pertama, hukuman fisik memiliki risiko untuk berkembang menjadi kekerasan bagi anak. Bagi semua orangtua yang mencintai anaknya, tujuan dari hukuman sesunguhnya adalah karena ingin anak kita berubah menjadi lebih baik. Sehingga anak kita dapat hidup dengan baik di masyarakat. Namun, jika ada kemungkinan bahwa dengan memulai hukuman fisik maka kita akan dapat menyakiti anak-anak kita, maka bagi saya lebih baik ini menjadi praktik yang ditinggalkan. Terutama, bagi saya sendiri yang masih belum baik dalam mengontrol emosi. Jangan sampai ketidakmampuan saya mengelola emosi dengan baik, ditambah kebiasaan memberi hukuman fisik, bisa merusak hubungan antara saya dan anak.

Alasan kedua adalah lebih banyak penelitian yang menunjukkan bahwa strategi ini tidak efektif dalam mengubah perilaku anak-anak. Sampai saat ini, lebih banyak studi yang beranggapan bahwa hukuman fisik tidak akan efektif untuk memperbaiki perilaku anak dalam jangka panjang. Bahkan sebaliknya, diprediksi bahwa dengan hukuman fisik perilaku anak akan memburuk ke depannya. Oleh karena itu, untuk apa digunakan? kalau justru tidak dapat membuat tingkah laku anak lebih baik dalam jangka panjang?

Selain itu dari sudut pandang ajaran islam mengajarkan untuk mendahulukan contoh yang baik dan pembiasaan dibandingkan dengan pukulan. Lebih lagi adab yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa bahkan ketika memberikan hukuman tidak boleh marah dan menyakiti wajah.

Pertimbangan itu semua dan pemahaman terhadap kontrol diri saya yang masih terbatas, membuat saya memutuskan untuk tidak memberikan hukuman fisik kepada anak saya dalam bentuk apapun.

Saya akan mulai disiplin, seperti yang diajarkan dalam islam dengan menjadi contoh yang baik dan pembiasaan. Selain itu masih banyak metode disiplin lainya yang tanpa kekerasan, seperti pemberian konsekuensi, pengambilan privilidge, ataupun timeout.

Namun, jika salah seorang pembaca dari tulisan ini mungkin mengambil kesimpulan yang berbeda dengan saya. Maka, baiknya tetap mengingat data-data bahwa ketika hukuman fisik yang berat yang diberikan kepada anak, dapat menyebabkan anak tersebut akan mengalami gangguan perkembangan kognitif, emosional, sosial dan juga tingkah-laku. Sehingga, sangat penting untuk berhati-hati ketika memutuskan akan memberikan hukuman fisik. Sebaiknya juga mengikuti adab yang diajarkan yaitu tidak diberikan dalam kondisi marah dan juga tidak menyakiti dan mempermalukan (dipukul di wajah).

Tidak dapat dipungkiri bahwa selama melakukan riset ini, saya mulai memahami tentang diri saya. Masalah-masalah yang pernah saya alami. Sangat mungkin permasalahan pengelolaan emosi yang saya rasakan, salah satu akarnya adalah karena seringnya pemberian hukuman fisik sedari saya kecil. Namun, saya menulis artikel ini bukan untuk menyalahkan orang tua saya. Sebaliknya, saya berharap dengan tulisan ini, menjadi bagian dari usaha untuk memutus rantai kekerasan pada anak. Sehingga semakin banyak anak dan orang dewasa yang tumbuh dengan bahagia dan sehat secara emosional. Terima kasih sudah membaca tulisan ini hingga selesai. Sampai jumpa lagi. Semoga bermanfaat!

Jadi, Kesimpulannya?

Subscribe to our newsletter